TUGAS AGAMA PERWUJUDAN IMAN DI TENGAH MASYARAKAT/GEREJA

September 23, 2009 at 12:29 pm (Uncategorized)

BAB I
Hidup Beriman dan Gereja
1.1 Pengertian Hidup Beriman
Iman adalah hubungan cinta antara manusia dengan Tuhan. Beriman merupakan tanggapan manusia atas cinta Tuhan yang diwujudkan berupa penyerahan total (TRUST). Manusia menyerahkan hidupnya kepada Tuhan karena manusia telah merasakan bahwa dirinya dicintai oleh Tuhan. Mereka telah merasakan apa yang dinamakan dengan pengalaman iman. Pengalaman iman ini merupakan pengalaman di mana manusia merasakan tuntunan dan cinta kasih Allah dalam dirinya yang membuatnya beriman kepada Allah serta meningkatkan imannya kepada Allah. Pengalaman iman bersifat misteri, rahmat dan pribadi. Misteri berarti tidak ada yang pernah mengetahui apa yang akan terjadi di waktu mendatang. Bersifat rahmat berarti pengalaman iman itu memberikan rahmat bagi orang yang mengalaminya. Dan pribadi berarti bahwa pengalaman iman tiap orang akan berbeda-beda.
Tanggapan cinta Tuhan itu dapat diungkapkan melalui ungkapan iman. Ungkapan iman merupakan sarana perwujudan tanggapan manusia atas cinta Tuhan melalui sarana atau simbol baik dalam doa, ibadat maupun perayaan-perayaan keagamaan. Ungkapan itu bisa berupa pujian, permohonan ataupun pernyataan.
Namun, ungkapan iman ini haruslah disertai dengan sikap dasar hati manusia dan penghayatan iman itu. Tanpa kedua hal itu, ungkapan iman itu menjadi kosong dan tidak berarti. Iman haruslah diwujudkan dalam tindakan nyata. Kedalaman iman seseorang diukur juga dari tindakannya. Orang yang dikatakan betul-betul beriman jika ia sungguh-sungguh menghayati dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Iman tanpa ungkapan atau pernyataan secara langsung adalah iman yang semu ; ungkapan tanpa dasar hati atau penghayatan merupakan ungkapan yang tidak bermakna. Oleh karena itu, selain ungkapan dan penghayatan iman, tanggapan cinta Tuhan harus diwujudkan secara nyata dalam tindakan.
Yakobus 2 : 14,22,26
Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan bahwa ia mempunyai iman,padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? ….. Kamu lihat, bahwa iman bekerja sama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna ….. Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.
Ayat di atas menegaskan bahwa percuma saja ungkapan iman bila iman itu tidak diwujudkan melalui perbuatan konkret. Iman yang tidak disertai dengan perbuatan nyata pada hakikatnya adalah mati.

Iman mencakup 4 hal yaitu : pikiran (manusia berpikir, mengerti, dan merasakan Tuhan itu ada), perasaan (manusia merasakan bahwa Tuhan itu baik), kehendak (manusia terdorong untuk melakukan tindakan), dan tindakan (sebagai wujud dari kehendak manusia)
Ketika seseorang merasakan pertolongan dan cinta Tuhan di saat dia dalam kesulitan atau dalam kehidupannya sehari-hari, ia akan merasakan bahwa Tuhan itu ada dan Tuhan mencintai dan memperhatikannya. Ia merasakan bahwa Tuhan itu baik dan ia mulai berserah kepada Tuhan. Ia mengolah dan menghayati imannya dalam hati dan mengungkapkan tanggapannya atas cinta Tuhan melalui doa atau ibadat (ungkapan iman melalui rajin ke gereja dan berdoa). Karena ia merasa dicintai Allah, ia pun mewujudkan tanggapannya atas cinta Allah itu melalui tindakan sehari-hari, misalnya dengan mencintai sesamanya yaitu anggota keluarga, kerabat, teman, dan siapa pun secara lebih lagi.
Hidup beriman yang diinginkan Allah tentu bukan hanya berupa ungkapan bahwa seseorang beriman kepada Allah. Allah ingin agar hidup beriman ini memiliki dampak terhadap perbuatan dan tindakan sehari-hari. Allah ingin agar relasi manusia denganNya secara konkret tampak bukan sekedar melalui kata-kata melainkan melalui perbuatan moral dalam kehidupan sehari-hari. Yang mendasari perbuatan dan tindakan kita adalah semangat kristani dan cinta kasih Allah dalam kehidupan kita. Yesus mengajarkan agar iman diwujudkan melalui perbuatan baik yang berkenan kepada Allah dan bukan hanya sekedar perkataan saja. Kita dituntut untuk mampu mencintai sesama secara sepenuh hati, mencintai musuh-musuh kita, dan menolong serta memperhatikan sesama yang lemah, hina, miskin dan tak berdaya.
Matius 25 : 40, 45
…Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. ….. Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.
Dalam perikop ini satu ajaran yang Yesus tekankan kepada umatNya adalah menolong sesama yang lemah, hina, miskin, dan tak berdaya. Mereka sangat berharga di mata Allah. Kita harus mewujudkan iman kita salah satunya dengan menolong dan memperhatikan mereka. Sesuai dengan ayat itu, dikatakan bahwa bila kita menolong mereka berarti kita telah berbakti kepada Allah Tuhan kita.
Lukas 6 : 20
Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.
Dari uraian pada bagian ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa hidup beriman bukan sekedar ungkapan bahwa saya beriman kepada Allah yang telah mencintai saya. Tanggapan atas cinta Allah itu haruslah diwujudkan secara nyata bukan hanya dengan sekedar rajin beribadah, berdoa, ke gereja, membaca Alkitab, dan lain sebagainya. Tetapi Allah mau agar tanggapan atas cinta Allah ini, diwujudkan secara nyata melalui perbuatan kita mencintai sesama kita, berbuat baik, khususnya kepada mereka yang membutuhkan pertolongan, kasih sayang, dan perhatian kita. Allah tidak mau kita sebagai orang yang beriman sekedar melakukan hal-hal rohani untuk menyenangkan hatiNya, Allah mau kita membagikan cintaNya yang telah kita rasakan kepada orang lain agar mereka pun merasakan dicintai oleh Allah melalui kehadiran dan perbuatan kita kepada mereka. Allah ingin kita sebagai orang yang hidup beriman menjadi berkat bagi orang lain karena Ia telah mencintai kita terlebih dahulu melalui pengalaman iman yang kita peroleh.
1.2 Pengertian Gereja
Banyak orang yang memandang Gereja sebagai gedung. Ini bukanlah pengertian Alkitab mengenai Gereja. Kata Gereja berasal dari kata bahasa Yunani “Ekklesia” yang didefinisikan sebagai “jemaat Allah”. Akar kata dari ”Gereja” bukan berhubungan dengan gedung, namun dengan orang. Gereja berarti semua orang yang dipanggil dalam persekutuan jemaat beriman Kristiani. Jemaat beriman Kristiani adalah persekutuan atau kumpulan orang-orang yang beriman keada Yesus Kristus, dibaptis dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus yang meneruskan karya Allah di dunia.
Sebagai sakramen, Gereja harus menampakkan kebaikan Allah. Selain sebagai sakramen, Gereja juga merupakan Tubuh Kristus. Artinya antara anggota Gereja harus menjadi satu tubuh yang dalam perannya masing-masing saling bekerjasama dan Kristus adalah kepala tubuh itu. Efesus 1:22-23 mengatakan, “Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu.”
Secara ringkas, kita dapat menyimpulkan dan menegaskan bahwa Gereja bukanlah bangunan saja. Menurut Alkitab, Gereja adalah Tubuh Kristus yaitu persekutuan setiap orang yang telah menempatkan iman mereka pada Yesus Kristus untuk keselamatan. Jadi makna kata Gereja adalah persekutuan yang ada karena orang percaya Yesus Kristus untuk meneruskan karya Allah di dunia.
1.3 Gereja Konsili Vatikan I
Gereja pada masa pra konsili vatikan II atau pada masa konsili vatikan I lebih berciri hierarkis priamidal. Gereja menonjol dalam hal-hal :
a) Organisasi (lahiriah) yang berstruktur piramidal tertata rapi.
b) Kepemimpinan tertahbis atau hierarki hampir identik dengan Gereja itu sendiri.
c) Hukum dan peraturan digunakan untuk menata dan menjaga kelangsungan suatu institusi.
d) Sikap Gereja Katolik yang triumfalistik dan tertutup. Gereja merasa sebagai satu-satunya penjamin kebenaran dan keselamatan sehingga muncul semboyan “extra ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan).
Beberapa hal yang diberlakukan pada masa ini antara lain:
a) Kitab Suci tidak boleh dibaca oleh kaum awam, hanya untuk biarawan.
b) Pejabat hierarki Gereja juga mempunyai jabatan politis sehingga muncul berbagai penyimpangan
c) Gereja bersifat tertutup.
Gereja pada masa pra konsili vatikan II (pada masa konsili vatikan I) dapat dikatakan tidak mencerminkan kehidupan beriman yang diajarkan oleh Yesus. Gereja Katolik pada masa itu menutup diri dari kehidupan masyarakat yang dinilai oleh Gereja Katolik penuh dengan dosa. Mereka menganggap bahwa Gereja Katolik yang suci tidak pantas ikut terlibat dalam kehidupan dunia seperti itu. Mereka menutup diri dari hal-hal duniawi bahkan tidak ingin terlibat dan campur tangan terhadap hal-hal tersebut. Prinsip atau kenyataan kondisi kehidupan Gereja Katolik yang eksklusif pada masa itu tidak menunjukkan kehidupan beriman yang diajarkan oleh Yesus. Sikap Gereja Katolik yang menjauhi kehidupan duniawi itu membuat Gereja sulit untuk mewujudkan imannya melalui perbuatan-perbuatan konkret sebagai tanggapan atas cinta Allah yang mereka imani.
1.4 Gereja yang Dihayati Umat Saat Ini
Pandangan Gereja saat ini telah banyak berubah. Gereja Katolik yang dihayati umat saat ini tidak lagi eksklusif seperti pada masa silam. Saat ini Gereja Katolik tidak lagi bersifat institusional Hierarki Piramidal melainkan Gereja Katolik saat ini lebih menunjukkan model sebagai persekutuan umat. Gereja saat ini hadir dan terlibat dalam hal-hal duniawi yang dapat dikatakan penuh dengan dosa.
Gagasan baru yang muncul dari pandangan Gereja sebagai persekutuan umat Allah :
1) Gereja yang hidup : Gereja ada pada “ inter tempora” (Gereja di tengah umat dan menyejarah). Gereja berkembang dari kalangan umat sendiri secara terus menerus
2) Pluriformitas : Gereja menampakkan keanekaragaman.
3) Hierarki Gereja tidak lagi ditempatkan di atas umat melainkan mereka ada di dalam umat.
Gereja yang dimaknai sebagai “UMAT ALLAH” sebagaimana diungkapkan dalam Konsili Vatikan II, memiliki makna bahwa Gereja merupakan Umat Allah yang sedang dalam perjalanan menuju ke rumah Bapa. Model Gereja sebagai Umat Allah ini menghayati model Gereja mula-mula (dalam Kis 2 : 41-47). Gereja sebagai Umat Allah berarti bahwa Gereja harus meliputi seluruh umat. Bukan hanya hierarki saja yang terlibat dalam kegiatan Gereja melainkan seluruh umat.
Beberapa hal yang nampak dalam model Gereja sebagai sebuah persekutuan umat yang dihayati saat ini adalah :
a) Hidup persaudaraan karena iman dan harapan yang sama (persaudaraan kasih).
b) Keikutsertaan seluruh umat dalam hidup menggereja. Bukan saja hierarki dan biarawan dan biarawati yang aktif dalam kehidupan menggereja, tetapi seluruh umat.
c) Hukum dan peraturan dibutuhkan, tetapi hati nurani dan tanggung jawab pribadi harus menyertai kedua hal itu.
Model Gereja yang dihayati saat ini telah menunjukkan suatu transformasi dalam tubuh Gereja Katolik dari sikap Gereja yang menutup diri di masa yang lampau menjadi terbuka dan mau terlibat di tengah kehidupan masyarakat dunia saat ini. Perubahan sikap Gereja Katolik menjadi model Gereja yang dihayati umat saat ini merupakan suatu langkah untuk mewujudkan kehidupan beriman dalam perbuatan konkret. Tidak akan mungkin kita dapat memancarkan kasih Allah kepada dunia ini bila kita berada di luar realita dunia ini. Bila kita ingin memancarkan kasih Allah maka kita harus berada di tengah dunia ini. Itulah suatu pemahaman yang dimiliki oleh Paus Roncalli. Beliaulah yang berjasa merubah paradigma Gereja Katolik yang semula eksklusif menjadi inklusif dan hadir di tengah masyarakat dan umat. Model Gereja saat ini juga memberi peluang yang lebih besar kepada umat untuk turut aktif dalam kehidupan gereja melalui berbagai pelayanan yang ada. Model Gereja yang dihayati umat saat ini lebih menampakkan makna dari kata “Katolik” itu sendiri yaitu universal.
1.5 Panggilan dalam Gereja
Sebagai sebuah persekutuan umat Allah, Gereja terdiri anggota-anggota yang mempunyai martabat yang sama namun masing-masing memiliki fungsi masing-masing. Ada golongan hierarki, biarawan-biarawati, dan kaum awam. Golongan hierarki adalah orang-orang yang ditahbiskan untuk tugas kegembalaan dan menjadi pemimpin serta pemersatu umat. Sementara itu, biarawan-biarawati adalah anggota umat yang denagn mengucapkan kaul kemiskinan, ketaatan, dan keperawanan ingin selalu bersatu dengan Kristus dan menerima pola nasib hidup YesusKristus secara radikal dan mereka kelak menjadi tanda nyata dari hidup dalam Kerajaan Allah. Sementara kaum awam adalah semua orang beriman Kristen yang tidak termasuk dalam golongan tertahbis dan biarawan-biarawati. Kaum awam menjalankan perutusan Gereja di tengah umat dan masyarakat. Meskipun berbeda fungsi dan tugasnya, tetapi semua anggota Gereja memiliki martabat yang sama.
Ketiga fungsi tersebut merupakan panggilan dalam Gereja. Allah menempatkan tiap-tiap orang di masing-masing fungsi tersebut. Panggilan Allah dinyatakan biasanya melalui pengalaman-pengalaman iman secara pribadi lepas pribadi di mana tiap-tiap orang akan merasakan cinta Allah secara konkret. Tiap-tiap orang itu akan menjadi beriman sebagai tanggapan atas cinta Allah itu pada diri mereka. Mereka menerima tugas perutusan sebagai umat Allah dan bergabung dalam sebuah persekutuan umat Allah yang disebut sebagai Gereja.
Melalui panggilan itu, Allah memiliki rancangan-rancangan indah kepada tiap-tiap pribadi itu. Secara keseluruhan, Allah ingin agar setiap orang dalam Gereja bersatu dan bahu membahu serta saling mendukung untuk melaksanakan tugas perutusannya masing-masing demi tercapainya satu cita-cita agung Allah yaitu mewujudkan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia. Allah ingin agar setiap orang beriman yang telah merasakan cinta Allah secara pribadi mampu membagikan cinta itu kepada sesamanya yang sedang kesusahan dan membutuhkan pertolongan serta penghiburan. Tugas untuk mewujudkan cita-cita agung Allah ini tidak hanya menjadi tanggung jawab dan tugas ataupun wewenang salah satu golongan (golongan hierarki dan biarawan-biarawati saja misalnya), melainkan seluruh anggota Gereja memiliki tugas , tanggung jawab serta wewenang untuk mewujudkan cita-cita agung tersebut.
Melalui karya panggilan para imam secara khusus, Allah mengharapkan agar para imam mampu menciptakan dan menjadikan Gereja bukanlah sebagai sebuah lembaga eksklusif yang merasa dirinyan suci melainkan para imam diharapkan mampu hadir di tengah-tengah umat untuk membawa komunitas Gereja untuk hadir di tengah-tengah masyarakat yang ada untuk mewujudkan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia.
Allah ingin agar golongan hierarki Gereja bersatu dengan kaum awam serta umat untuk hadir dalam situasi masyarakat yang ada untuk mewartakan kabar sukacita dan menjadi berkat bagi orang banyak. Dengan demikian, Gereja akan menjadi garam dan terang bagi dunia ini. Melalui panggilanNya, Allah ingin agar Gereja sebagai sebuah persekutuan terbuka umat Allah mau turun ke tengah masyarakat untuk memberi perhatian dan solusi serta mengulurkan tangan membantu kesulitan-kesulitan di tengah masyarakat saat ini. Dengan demikian, melalui panggilanNya Allah telah menempatkan pribadi-pribadi dalam komunitas Gereja untuk mewujudkan iman mereka kepada Allah melalui perbuatan-perbuatan konkret dan bukan hanya ungkapan iman belaka. Ini berlaku baik bagi golongan hierarki Gereja, biarawan-biarawati, kaum awam, serta seluruh umat yang beriman kepada Allah.

BAB II
Hidup Beriman yang Ditunjukkan oleh Pater Yesuit
Dalam buku “Pergilah dan Kobarkanlah Dunia!” diceritakan mengenai awal karya para Pater Yesuit di tanah Indonesia. Pater Martinus van den Elzen dan Pater Johanes Bapista Palinckx yang mendarat di Tanjung Priok pada 9 Juli 1859 yang dianggap sebagai pelopor kehadiran dan awal misi Yesuit di Indonesia. Sebenarnya pada tahun1546, sudah ada pater Yesuit yang tiba di Indonesia yaitu Pater Fransiskus Xaverius yang mendarat di Maluku/ Ambon mulai Februari 1546 sampai Mei 1547 ketika beliau meninggalkan Ternate dan berlayar ke India. Dari 1547 sampai 1666, ada 74 Yesuit yang berkarya di Maluku. Dua Yesuit yang “tidak sengaja” mendarat di Batavia mati sebagai martir pada tahun 1622 dan 1646.
Disebutkan dalam buku ini, sejak tahun 1874 para Pater Yesuit mulai tiba di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Para Pater Yesuit memulai misi mereka di daerah-daerah tersebut. Ada yang berhasil tetapi ada pula yang tidak. Bahkan ada juga yang meninggal di tanah misi akibat dibunuh, misalnya Pater Lecocq d’Amandville yang mendapat tugas membuka misi di Irian. Setelah beberapa tahun menetap di Kapaur (Fak-Fak), beliau meninggal pada 27 Mei 1896 dengan dugaan bahwa beliau dibunuh. Misi pewartaan di Fak-Fak tidak serta merta mempertobatkan penduduk setempat dan akhirnya Fak-Fak ditinggalkan.
Namun salah satu perintisan di tanah misi yang berhasil terjadi di wilayah Jawa Tengah oleh Pater Frans van Lith yang tiba di Semarang pada 4 Oktober 1896. Menurutnya, seorang misionaris yang berada di antara orang Jawa harus bisa menjadi bagaimana layaknya orang Jawa. Tahun 1904, Pater van Lith membaptis 158 orang di sebuah mata air suci yang sangat dihormati oleh penduduk Kalibawang. Mata air itu pun diberkati juga oleh Pater van Lith. Mata air itu sekarang dikenal dengan Sendangsono. Pater van Lith juga mendirikan sekolah pendidikan guru di Muntilan. Sekolah ini memunculkan dua orang yang mengajukan diri menjadi imam. Salah satunya adalah FX Satiman yang kemudian menjadi Yesuit dan imam pribumi pertama.
Bertahun-tahun para misionaris ini mempelajari daerah-daerah misi. Mereka mempelajari bahasa-bahasa penduduk setempat, menyusun katekismus dalam bahasa lokal dan menerjemahkan doa-doa harian. Mereka membaptis orang-orang dari berbagai macam suku.
Di balik kesuksesan itu, Serikat Yesus Indonesia juga dihadapkan pada berbagai hambatan, rintangan dan macam-macam permasalahan. Selain terbunuhnya para misionaris di tanah misi mereka, Serikat Yesus juga mengalami kekurangan tenaga misionaris. Hal ini terjadi sekitar tahun 1890-an di saat karya misi di luar Jawa terus berkembang. Permintaan tenaga misionaris datang dari berbagai daerah. Jumlah tenaga misionaris yang ada terbatas sementara wilayah pelayanan sangat luas. Permasalahan ini membutuhkan penyelesaian yang segera karena hanya menunda-nunda tidaklah menyelesaikan permasalahan itu.
Para misionaris Belanda yang berkarya di Indonesia juga dihadapkan pada permasalahan begitu kompleks dan beragamnya bahasa dan budaya yang ada di tanah Indonesia. Mereka merindukan adanya imam pribumi. Dua orang putra pribumi dari sekolah perguruan di Muntilan menyatakan kerinduannya untuk menjadi imam. Mereka adalah FX Satiman dan Petrus Darmasepoetra. Kerinduan mereka ini tidak mendapat persetujuan dari vikaris Batavia yang menilai panggilan itu terlalu prematur, terlalu dini, dan belum cukup matang. Namun dengan keteguhan hati mereka, mereka mengatakan bahwa kalau hal tersebut tidak dimulai sejak generasi pertama, lalu siapa yang akan memulainya. Akhirnya FX Satiman pun menjadi Yesuit dan imam pribumi pertama berkat keteguhan hati dan kebulatan tekadnya untuk terjun turut serta melayani Tuhan.
Berada di tanah misi, bukanlah hal yang mudah bagi para pater Yesuit. Ancaman situasi yang tidak kondusif bisa jadi menjadikan mereka sebagai korban dari kekejaman dunia ini. Tidak sedikit misionaris yang tewas terbunuh di tanah misi mereka. Salah satunya di Timor Leste ketika referendum pada tahun 1999 untuk menentukan apakah Timor Leste akan tetap bergabung dengan Indonesia atau berpisah dan menjadi negara merdeka. Saat itu beberapa imam dan suster tertembak, di antaranya dua orang imam Yesuit yang tewas tertembak di lingkungan Gereja.
Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan dan persoalan, karya misi para Pater Yesuit di tanah Indonesia sudah berjalan selama 150 tahun. Ada banyak prestasi dan karya misi yang dapat kita temukan sekarang. Misalnya dalam bidang pendidikan. Para imam Yesuit telah mendirikan berbagai sekolah baik untuk pendidikan umum maupun pendidikan imam. Karya pendidikan Yesuit ini merupakan bukti kepedulian Serikat Yesus untuk berkontribusi bagi pendidikan di tanah Indonesia ini.
Karya misi para Pater Yesuit ini merupakan salah satu bentuk dari perwujudan iman melalui panggilan yang mereka dapatkan. Mereka mewujudkan iman melalui perbuatan-perbuatan konkret di tengah masyarakat. Para Pater Yesuit terjun secara langsung dan berbaur di tengah-tengah masyarakat untuk menjalankan karya misi perutusan mereka. Untuk mencapai tujuan itu, mereka harus berbaur dan menjadi sama seperti mereka misalnya dengan menggunakan bahasa daerah setempat atau menggunakan kesenian setempat dalam mewartakan kabar keselamatan dan berbagai hal lainnya. Salah satu contohnya adalah seperti apa yang dilakukan oleh Pater van Lith.
Untuk berbaur dan menjadi bagian dari masyarakat setempat bukanlah tanpa resiko bagi para pater Yesuit ini. Bisa jadi keselamatan jiwa mereka menjadi taruhannya. Tidak sedikit misionaris ini yang meninggal karena dibunuh. Perutusan pater Yesuit ini dapat dianalogikan seperti perutusan seekor domba di tengah kerumunan serigala. Para pater Yesuit harus berada di tengah suasana kehidupan masyarakat yang begitu kejam dan berbahaya. Namun, semua itu mereka lakukan dengan penuh sukacita dan ucapan syukur kepada Tuhan.
Mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah merupakan perwujudan iman mereka kepada Allah yang telah memanggil mereka menjadi imam. Mereka mewujudkan imannya melalui perbuatan konkret seperti pewartaan kabar keselamatan, karya pendidikan serta berbagai karya sosial lainnya. Dan terlebih lagi mereka mewujudkan imannya dengan penyerahan hidupnya secara total dan bersedia menjalankan karya misi yang telah dipercayakan Allah kepada mereka itu. Mereka yakin bahwa ada rancangan-rancangan indah yang Allah miliki melalui pribadi-pribadi mereka dengan perutusan mereka di tanah-tanah misi itu. Mereka tahu bahwa iman mereka kepada Allah haruslah diwujudkan secara nyata melalui karya misi tersebut untuk mewartakan kabar keselamatan serta mewujudkan kerajaan Allah di tengah dunia ini. Apa yang dilakukan oleh para Pater Yesuit merupakan suatu gambaran model Gereja sebagai persekutuan umat Allah. Para Pater ini berbaur dan turun langsung menjadi satu dengan umat dan masyarakat. Mereka tidak menempatkan diri sebagai golongan eksklusif yang terpisah melainkan menyatu dan menghayati hidup masyarkat di sekitarnya untuk membagikan cinta Allah kepada orang-orang di sekitarnya. Inilah suatu model pemenuhan panggilan yang dikehendaki Allah di mana Gereja menjadi satu dengan masyarakat dalam perwujudan iman melalui perbuatan konkret untuk mewujudkan Kerajaan Allah di tengah dunia demi semakin besarnya kemuliaan nama Allah.

BAB III
Refleksi
3.1 Hal yang Paling Menarik dari karya para Pater Yesuit
Dari uraian pada bagian sebelumnya, ada satu hal menarik yang dapat kita pelajari lebih mendalam lagi dari karya para Pater Yesuit khususnya pada awal mereka memulai misi di tanah Indonesia. Hal tersebut dapat menjadi bahan permenungan bagi perkembangan kehidupan beriman kita. Hal menarik itu adalah bagaimana keteguhan hati, kebulatan tekad serta penyerahan total para Pater Yesuit untuk turut ambil bagian dalam karya misi Allah di tanah Indonesia ini.
Saya melihat ketiga hal tersebut menjadi suatu landasan bagi seseorang untuk melakukan perwujudan iman di tengah-tengah masyarakat. Demikian pula dengan para Pater Yesuit. Mereka turun ke situasi masyarakat (masyarakat Indonesia) yang pada saat itu dapat dikatakan masih berdosa, kotor, dan belum mengenal bagaimana Kekristenan itu. Saat mereka tiba di Indonesia, masyarakat Indonesia dapat dikatakan masih kafir. Situasi masyarakat saat itu masih memungkinkan untuk saling membunuh satu sama lain bila tidak senang.
Ibarat seorang domba yang berada di tengah kerumunan serigala, para Pater Yesuit memulai karya misi mereka di daerah-daerah di Indonesia. Keselamatan mereka menjadi taruhan dalam melaksanakan karya misi ini. Tidak jarang para misionaris yang dibunuh di daerah misi mereka. Dalam hal ini, para Pater Yesuit harus mampu bertindak cerdik dan tulus. Kecerdikan ini dibutuhkan untuk mencari cara mendekati masyarakat setempat agar mereka dapat diterima dengan baik di tengah-tengah masyarakat lokal dan Kerajaan Allah dapat diwartakan kepada mereka. Sementara itu, ketulusan juga harus dimiliki oleh para misionaris ini. Mereka harus tulus melayani Tuhan dan semata-mata apa yang mereka lakukan ini mereka sadari sebagai sebuah perwujudan iman bukan untuk mencari hal-hal duniawi (seperti materi, popularitas, dan lain sebagainya). Menjadi misionaris bukanlah cara untuk mendapatkan itu semua. Hal yang dilakukan oleh para Pater Yesuit ini semata-mata sebagai perwujudan atas tanggapan cinta Tuhan kepada mereka melalui perbuatan berbagi kasih kepada sesama.
Sungguh sesuatu yang saya kagumi dari para Pater Yesuit adalah kesediaan mereka untuk meninggalkan Belanda untuk memulai karya misi di Indonesia. Mereka bersedia keluar dari zona nyaman di tengah kehidupan Belanda. Mereka sebagai imam yang dipanggil Tuhan tidak hanya bersikap eksklusif menutup diri di wilayah Belanda yang dapat dikatakan relatif aman dan menyenangkan dibandingkan harus merintis karya misi di Indonesia. Mereka tidak menilai kehidupan masyarakat Indonesia yang belum mengenal Tuhan sebagai lingkungan berdosa yang harus dijauhi dan dihindari. Para Pater Yesuit menilai wilayah ini merupakan ladang garapan mereka untuk mewujudkan kehidupan beriman melalui karya misi ini. Mereka mau dan dengan sepenuh hati hadir dan menghayati kehidupan masyarakat lokal Indonesia sambil mewartakan kabar Kerajaan Allah.
Keteguhan hati dan kebulatan tekad nampak dalam diri para Pater Yesuit yang memulai karya misi di tanah Indonesia. Meskipun dihadapkan pada berbagai permasalahan serta situasi yang berbahaya, mereka terus melanjutkan karya misi itu. Mereka tidak menyerah dan pulang kembali ke Belanda. Mereka justru terus maju dan terus berkarya. Para Pater Yesuit bersedia dikirim ke daerah yang telah merebut nyawa Pater pendahulu mereka. Mereka tidak takut akan hal itu. Mereka menyerahkan diri secara total kepada pertolongan Tuhan bahwa Tuhan pasti menolong karya misi mereka di daerah tersebut.
150 tahun bukanlah waktu yang singkat. Perjalanan karya misi Yesuit di tanah Indonesia telah berjalan hingga saat ini. Ini semua dapat terwujud karena tiga hal tersebut, yaitu adanya keteguhan hati, kebulatan tekad, dan penyerahan diri para Pater Yesuit untuk terus berkarya tanpa kenal lelah di tanah Indonesia meskipun menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan baik di masa lampau maupun di masa sekarang.
3.2 Nilai-Nilai yang dapat Dipelajari
Dengan membaca sejarah perjalanan awal karya misi para Pater Yesuit di Indonesia, kita dapat mempelajari beberapa nilai penting dalam kita mewujudkan iman kita yang merupakan tanggapan kita atas cinta Tuhan dalam perbuatan konkret di tengah masyarakat kita :
Pertama adalah keteguhan hati. Perwujudan iman di tengah masyarakat bukanlah sesuatu yang muda. Kita akan menemukan tantangan baik itu dalam hal psikis maupun batiniah. Tantangan itu misalkan sikap tidak menerima masyarakat sekitar kita terhadap keberadaan kita untuk menolong atau hadir di tengah mereka. Situasi masyarakat yang berbahaya dan penuh dengan dosa merupakan tantangan terbesar yang akan dihadapi. Kita harus memiliki landasan berupa hati yang teguh untuk mencintai Tuhan. Bila dasar iman kita kuat, maka kita tidak akan menyerah ketika kita dihadapkan pada permasalahan yang ada dan terlebih lagi dengan keteguhan hati maka kita tidak akan terseret arus kehidupan yang tidak benar yang ada di masyarakat. Di saat kita bergaul di tengah masyarakat ini, kita tidak akan terjerumus dalam hal-hal yang tidak baik. Keteguhan hati merupakan dasar utama untuk kita dapat mewujudkan iman kita di tengah kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, karya misi para Pater Yesuit di tanah Indonesia dapat berjalan hingga saat ini karena keteguhan hati mereka. Cinta mereka yang kuat terhadap panggilan Tuhan itulah yang membuat mereka terus berkarya meskipun ada berbagai tantangan di tanah misi ini. Selain itu, keteguhan hati juga yang membuat mereka tidak berpaling dari jalan panggilan Allah untuk ikut serta dengan lingkungan sekitar mereka melainkan dengan modal keteguhan hati itulah mereka menarik banyak orang untuk mengiring Yesus.
Kedua adalah kepedulian. Dalam mewujudkan iman kita di tengah kehidupan masyarakat, kita harus memiliki rasa kepedulian terhadap kondisi kehidupan yang kurang beruntung. Perwujudan iman akan sia-sia jika kita lakukan di tengah situasi dan kondisi yang serba berkecukupan dan dalam keadaan yang baik-baik saja. Perwujudan kehidupan beriman haruslah dilakukan di tengah masyarakat yang kesusahan bagi mereka yang memang membutuhkan pertolongan, penghiburan, dan uluran tangan kita. Maka, kita haruslah memiliki kepedulian terhadap keprihatinan-keprihatinan yang ada di tengah masyarakat saat ini. Sebagai contoh, dalam mewujudkan kehidupan berimannya di tanah Indonesia, para Pater Yesuit memiliki kepedulian terhadap keadaan masyarakat di sekitarnya. Mereka peduli akan kebutuhan bangsa Indonesia terhadap pendidikan maka mereka mewujudkan iman mereka melalui karya pendidikan yang mereka lakukan bagi bangsa Indonesia ini.
Yang ketiga adalah ketulusan hati. Para Pater Yesuit yang mengawali karya misi di tanah Indonesia tentulah bukan atas motivasi mengejar keuntungan materi ataupun untuk mendapatkan pujian bagi diri mereka sendiri. Saya yakin bahwa yang menjadi dasar mereka datang ke Indonesia adalah ketulusan mereka melayani dan bekerja demi kemuliaan nama Tuhan. Demikian pula dengan kita yang akan mewujudkan iman kita kepada Allah di tengah masyarakat. Yang menjadi dasar kita melakukan semuanya adalah demi semakin besar kemuliaan nama Tuhan. Kita harus dengan tulus melakukannya karena jika kita tulus melakukannya, kita akan melakukan semuanya dengan penuh sukacita dan hasilnya pun akan maksimal. Dalam mewujudkan iman, janganlah kita memikirkan untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri karena keuntungan yang ada hanyalah untuk kemuliaan nama Tuhan yang telah terlebih dahulu mencurahkan cintaNya kepada kita.
Dan yang keempat adalah cinta. Sama seperti para Pater Yesuit yang mencintai tanah misi dan masyarakat di tanah misi itu, maka sebelum mewujudkan iman di tengah masyarakat kita, kita harus mencintai masyarakat sekitar kita terlebih dahulu. Dengan cinta itu, perbuatan-perbuatan konkret yang akan kita lakukan sebagai perwujudan iman kita akan kita lakukan dengan sepenuh hati dan dengan sukacita sehingga akan menghasilkan hal yang baik bagi kemuliaan nama Tuhan.
3.3 Ciri-Ciri Gembala Umat yang Sesuai dengan Keadaan Jaman Saat Ini
Penggembalaan umat dalam Gereja Katolik pada saat sekarang ini sangatlah dibutuhkan dan diharapkan mampu membawa umat dan seluruh anggota Gereja bersatu mewujudkan iman mereka secara nyata. Ciri-ciri gembala umat yang sesuai dengan keadaan saat ini haruslah mengikuti model Gereja sebagai sebuah persekutuan umat. Keadaan umat saat ini tidak dapat kita perlakukan dengan model Gereja hierarki piramidal seperti pada masa pra konsili vatikan II di mana hierarki gereja berada pada posisi di atas umat. Penggembalaan umat harus dilakukan dengan menempatkan hierarki gereja di tengah-tengah umat dan masyarakat. Beberapa ciri penggembalaan umat yang sesuai dengan keadaan saat ini antara lain :
(1) Gembala umat berada di tengah-tengah umat. Umat akan senang bila gembala mereka ikut ambil bagian bersama dengan umat dalam melakukan kegiatan-kegiatan Gereja yang berkaitan untuk mewujudkan iman Kristiani dalam perbuatan-perbuatan konkret. Umat tentu kurang senang bila sang gembala hanya memberi perintah dan amanat. Umat saat ini mengharapkan gembala mereka turun langsung bersama umat melakukan kegiatan-kegiatan secara bersama-sama. Dengan demikian akan timbul hubungan yang akrab dan erat antara gembala dengan umatnya. Umat akan mengenal lebih mendalam gembala mereka dan juga sebaliknya.
(2) Penggembalaan umat di tengah kondisi masyarakat seperti sekarang ini tidak sama dengan ketika awal karya misi para Pater Yesuit. Kita tidak dapat serta merta membujuk orang untuk beriman sama seperti kita karena masyarakat saat ini sudah memiliki iman masing-masing. Penggembalaan umat saat ini lebih difokuskan pada perwujudan iman Gereja melalui perbuatan konkret kepada masyarakat yang mengalami kesulitan dengan membagi kasih kepada mereka yang kesusahan, misalnya melalui kegiatan bakti sosial dan berbagai kegiatan lainnya. Gembala umat harus mendidik umat untuk tidak sekedar mengungkapkan iman melalui kata-kata melainkan mewujudkannya secara konkret.
(3) Seorang gembala haruslah memiliki kepekaan sosial terhadap kejadian-kejadian dan hal-hal lain yang ada di tengah masyarakat. Gembala harus memilah perkembangan-perkembangan dunia yang ada. Yang baik haruslah diadopsi demi pertumbuhan iman umat tetapi yang buruk harus dihindarkan. Gembala harus membawa umat untuk tidak menjauhi hal-hal duniawi melainkan tetap terlibat di tengah dunia tetapi menghindari hal-hal buruk yang ada.
(4) Penggembalaan umat tidak dapat dilakukan secara radikal dan secara drastis. Dalam menyadarkan umat pada jaman sekarang, gembala haruslah menggunakan cara-cara halus dan melalui pendekatan-pendekatan secara baik-baik.
Ciri-ciri penggembalaan tersebut menampakkan bahwa posisi seorang gembala pada jaman sekarang haruslah di tengah umat. Umat harus diajak untuk berpartisipasi aktif. Gembala memposisikan diri bukan untuk memisahkan diri dengan umat dan masyarakat, melainkan ia menjadi satu dengan mereka untuk membimbing dan mengarahkan mereka menjadi umat yang berkenan kepada Allah dan mampu merasakan cinta kasih Allah dalam diri mereka sehingga mereka pun dapat mengungkapkan dan mewujudkan secara konkret tanggapan mereka atas cinta Allah tersebut melalui perbuatan-perbuatan konkret.
3.4 Hal-Hal yang Dapat Saya Lakukan untuk Mewujudkan Iman
Setelah mempelajari hidup beriman dalam persekutuan gereja dan masyarakat, saya menyadari bahwa saya sebagai umat Allah dipanggil untuk mewujudkan iman saya kepada Allah melalui perbuatan-perbuatan yang konkret. Allah telah terlebih dahulu mencintai saya, maka saya harus mewujudkan iman saya sebagai tanggapan atas cinta Allah dalam diri saya.
Beberapa hal yang dapat saya lakukan adalah :
(1) Sebagai seorang Katolik, saya harus lebih aktif lagi terlibat dalam kegiatan-kegiatan Gereja terlebih dalam kegiatan sosial Gereja, misalnya kegiatan bakti sosial. Allah telah mengorbankan diriNya untuk menebus dosa-dosa saya, maka sebagai umatNya saya harus juga mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran saya untuk ikut serta mengembangkan pekerjaan dan karya Allah di dunia demi bertambah besar kemuliaanNya.
(2) Sebagai seorang pelajar, saya harus rajin belajar agar kelak saya dapat menjadi orang yang sukses, berguna serta membanggakan bagi orang tua, sekolah, Gereja, bangsa dan negara. Allah telah memberikan kesempatan kepada saya, maka sebagai tanggapan saya atas cintaNya ini saya harus memanfaatkan secara optimal dan penuh tanggung jawab. Saya tidak boleh menyia-nyiakan itu semua. Kelak bila saya sukses, saya bisa membagikan kebahagiaan saya kepada sesama saya yang kurang beruntung agar mereka pun dapat merasakan kehadiran Allah dalam hidup mereka.
(3) Perwujudan iman dapat saya lakukan bukan hanya sekedar bersaksi dengan kata-kata. Bila saya hanya sekedar berkata-kata, orang akan menilai saya sebagai orang yang sok suci dan justru mereka akan meremehkan apa yang saya katakan itu. Untuk membalas cinta dan segala pertolongan Allah dalam kehidupan saya, saya harus menjaga segala pikiran, perkataan dan perbuatan saya sehingga orang lain dapat melihat kehadiran dan sapaan Allah dalam diri saya.
(4) Saya harus mengembangkan dan terus mengasah kepedulian saya terhadap lingkungan di sekitar saya baik itu orang tua, teman, kerabat, dan orang-orang lain di sekitar saya. Saya ingin agar mereka merasakan bahwa saya hadir sebagai pembawa suasana sukacita dan bukan sebagai pembawa masalah. Saya ingin agar saya dapat berbuat untuk membantu mereka yang mengalami kesulitan atau membutuhkan penghiburan agar mereka dapat merasakan bahwa Allah juga hadir dan memperhatikan kehidupan mereka.
Inilah beberapa hal besar yang dapat saya lakukan untuk mewujudkan iman saya. Tentu masih banyak lagi hal yang dapat dan akan saya lakukan. Intinya adalah saya harus mewujudkan relasi saya dengan Tuhan secara konkret dalam kehidupan sehari-hari saya.

Leave a comment